MENJINAKKAN DUNIA DIGITAL, MEMANUSIAWIKAN MANUSIA



I. Internet sebagai conditio humana

Sekarang ini hampir tidak ada lagi bidang dalam kehidupan kita yang tidak bersentuhan dengan internet. Kebutuhan akan makanan, jodoh, aspirasi politik, pacar, kesehatan, transportasi, informasi tentang kondisi lalu lintas, hiburan, pengetahuan, sekolah, agama bahkan seksualitas, dan lain sebagainya, telah (dapat) melibatkan internet. Internet itu bukan lagi perangkat yang terpisah dari keberadaan kita, melainkan ia telah menjadi instrumen yang memungkinkan kita mengada sebagai manusia. Tanpa internet kita (merasa) tidak ada, tidak eksis, artinya, seakan-akan lumpuh, kurang manusiawi. Manusia sekarang telah menjadi makhluk amphibi: hidup dalam dua dunia, yakni dunia virtual dan dunia real-korporeal. Itulah homo digitalis, manusia yang hidup dalam dunia yang serba digital.

II. Sejumlah Pertanyaan

Mengapa refleksi kritis atas fenomena intensifikasi penggunaan perangkat digital ini penting? Tidak lain dan tidak bukan karena dunia digital telah sedemikian jauh mempengaruhi bahkan menentukan kehidupan kita. Kalau kita memperhatikan bagaimana hubungan internet dan manusia dewasa ini, maka tidak berlebihan mengatakan bahwa bukan kita lagi yang menggunakan dan mengarahkan internet, melainkan internet yang mengarahkan dan menentukan kita. Kita seakanakan terserap olehnya. Kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalamnya. Internet mengkonsumsi kita, dan bukan sebaliknya. Ini karena kita menyesuaikan diri ke padanya, kepada framework-nya.

III. Internet dan dehumanisasi

Banyak orang yang mengatakan bahwa teknologi dunia digital itu netral. Tergantung pada manusia itu sendiri, apakah mau menggunakan internet itu untuk tujuan baik atau buruk. Namun, jawaban itu tidak tepat. Kita terlalu naif kalau beranggapan demikian. Teknologi itu tidak pernah netral. Teknologi mengubah lingkungan dan cara hidup kita, dan dengan demikian mengubah kita juga. Di atas kita telah melihat sejumlah contoh perubahan yang terjadi karena internet. Artinya, secara langsung atau tidak langsung, teknologi mengubah kita. Itu membuktikan bahwa dia tidak netral. Martin Heidegger, filsuf Jerman yang merefleksikan hakikat teknik dengan sangat mendalam dan menyebutnya sebagai puncak metafisika, tampaknya  benar ketika dia mengkritik mitos keliru.

Secara ontologis, internetisasi atau digitalisasi tidak lain dari bentuk perversi atas kemanusiaan kita. Digitalisasi adalah sekaligus denaturalisasi manusia, proses ketercerabutan kita dari alam. Kita semakin sedikit bersentuhan dengan alam empiris-fisik. Sebagai denaturalisasi, digitalisasi membuat kita semakin jarang dan sulit meng-alami sesuatu. Artinya, kita mengalami sesuatu, tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengalami. Dengan kata lain, kita hidup dalam kedangkalan, banalitas.

Prinsip kecepatan yang dijunjung tinggi dalam teknologi digital membuat kita tidak pernah sungguh-sungguh dapat mengalami sesuatu dengan mendalam. Segala sesuatu, ya iklan, gambar, tulisan atau berita berlalu dengan cepat, digantikan oleh gambar atau berita yang lain. Dan oleh karena itulah kita selalu merasa tidak pernah dipuaskan. Sebagai manusia, kita hanya bisa merasa puas kalau kita memiliki kesempatan untuk mengalami sesuatu dengan sungguh-sungguh. Iklan, berbagai  bentuk hiburan, benda-benda konsumtif yang diperjual-belikan dan informasi semua itu berlalu dengan kecepatan tinggi, tidak memberi ruang dan waktu bagi kita untuk menghayatinya, mengalaminya, dan itulah yang menyebabkan mengapa orang-orang dalam dunia digital seakanakan dahaga dan resah untuk selalu mencari yang baru.

Secara kognitif, perkembangan teknologi digital juga membuat kita semakin merosot. Penelitian memperlihatkan bahwa kemajuan teknologi digital telah menyebabkan kemampuan kita untuk menggunakan pikiran merosot jauh. Orang-orang zaman dulu, misalnya generasi orang tua kita, umumnya mampu mengingat sampai 10 nomor telepon, tapi orang sekarang paling hanya mampu mengingat dua atau tiga nomor telepon. Karena kemampuan mengingat merosot, maka orang sekarang sedemikian tergantung, misalnya, pada GPS kalau mau bepergian; berbeda dengan orang zaman dulu.

Gejala negatif lainnya yang diakibatkan teknologi adalah kemampuan kita untuk konsentrasi pada sebuah tema tertentu merosot. Kita menjadi manusia yang cepat bosan, tidak mampu lagi menekuni sesuatu dalam waktu lama. Sebentar-sebentar kita merasa tergoda untuk menengok ke handphone kita untuk melihat apakah ada sesuatu yang baru di sana, entah dalam WA atau SMS.

IV. Penjungkir-balikan Nilai-nilai

Satu dampak negatif yang sangat nyata terlihat dalam perkembangan komunikasi digital dewasa ini adalah terjadinya perubahan besar dalam nilai: bukan lagi pergeseran nilai, tapi mungkin sudah „penjungkir-balikan nilai-nilai“ (Umwertung aller Werte), sebagaimana dikatakan filsuf Jerman Friedrich Nietzsche. Penjungkir-balikan nilai-nilai ini terjadi dalam berbagai bidang.

   Ini adalah hasil penelitian yang dilakukan di Jerman pada tahun 2013/2014 mengenai dampak perkembangan teknologi komunikasi digital pada kemampuan belajar mahasiswa Jerman secara umum. Penulis membaca hasil penelitian itu pada majalah Der Spiegel. Sayang, penulis tidak dapat menemukan edisi majalah tersebut. Berdasarkan pengalaman sebagai dosen, hasil penelitian tersebut tampaknya juga berlaku untuk mahasiswa kita di Indonesia.  9 Martin Heidegger, Die Frage nach der Technik, GA 76, Frankfurt am Main, Klostermann, 1957, hal. 295.

Sesuatu yang berharga, yang dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas. Nilai itu bersifat normatif karena ia menentukan bagaimana kita bersikap dan bertindak. Nilai juga dapat berperan sebagai norma pengikat masyarakat. Masyarakat juga dapat didefinisikan dari segi nilai. Apa yang disebut dengan masyarakat sebenarnya adalah sekelompok manusia yang menganut dan diikat oleh nilai (dasar) bersama. Keindonesiaan, misalnya, adalah sebuah nilai karena keindonesiaan itu bersifat normatif sebab ia menentukan cara kita bersikap dan bertindak, misalnya, bahwa sebagai orang Indonesia kita umumnya bersikap ramah dan toleran (betapapun sekarang orang mungkin sinis terhadap nilai keramahan dan toleransi tersebut.

Komunikasi dalam dunia digital telah mengakibatkan jungkir-baliknya nilai-nilai seperti sopansantun, privasi, kekeluargaan, persahabatan, pengetahuan, keahlian, hak asasi dan martabat manusia, dan lain-lain. Kalau kita mengamati isi komentar atau postingan orang-orang di media sosial, misalnya, kita dengan mudah melihat atau membaca di sana perilaku atau pernyataan yang sungguh bertentangan dengan nilai-nilai yang secara sosial dijunjung tinggi oleh masyarakat kita.

V. Perlunya Etika Komunikasi Digital

Semua perkembangan baru yang mengkuatirkan ini telah mendorong para ahli dan orang-orang yang memiliki komitmen untuk pengembangan dunia digital yang sehat untuk merumuskan sebuah etika bagi komunikasi dunia digital. Untuk tujuan tersebut, pada tahun 2014, di Jerman telah didirikan sebuah Institut untuk Etika Digital di Sekolah Tinggi Media di kota Stuttgart (Institut für Digitale Ethik/Hochschule der Medien Stuttgart. Melihat pola-pola dan dinamika komunikasi pada dunia digital, Prof. Dr. Petra Grimm, seorang profesor pada institut tersebut, mengatakan bahwa „sebuah internet tanpa etika tidak akan dapat berfungsi dengan baik

VI. 10 PERINTAH DALAM ETIKA KOMUNIKASI DIGITAL15

1.      Jangan mengekspos dirimu telalu banyak.

2.      Waspadalah dan tolak bila engkau diawasi dan data-data dirimu disimpan

3.      Jangan mempercayai segala sesuatu yang engkau lihat dan baca secara online dan usahakan mencari sumber-sumber informasi alternatif.

4.      Jangan pernah toleran terhadap perundungan (bullying) dan perilaku kebencian

5.      Hargailah martabat orang lain dan ingat bahwa aturan juga berlaku dalam dunia digital.

6.      Jangan mempercayai orang lain yang hanya berkomunikasi denganmu secara online

7.      Lindungi dirimu dan diri orang lain dari hal-hal yang bersifat ekstrim

8.      Jangan menilai dirimu dari jumlah likes dan postingan.

9.      Jangan mengukur dirimu dan tubuhmu dari angka-angka dan statistik

10.  Sesekali matikanlah perangkat digitalmu dan keluarlah ke dunia nyata.

Uraian Tambahan:

I. Nousfer: metafisika internet

Pada tahun 1938, seorang pastor Jesuit yang juga sekaligus dan arkeolog dan paleontolog, Piere Teilhard de Chardin (1881-1955)16, menulis sebuah buku berjudul The Phenomenon of Man. Dalam buku tersebut ia mengajukan sebuah tesis mengenai keberadaan “sebuah angkasa pemikiran” (a sphere of thought) manusia yang membungkus bumi. Angkasa pemikiran  itu disebut Noosphere. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani, yakni nous, yang berarti mind, dan spaira yang berarti sphere. Dalam Bahasa Indonesia kata ini mungkin dapat diterjemahkan dengan nousfer, mengikuti katakata seperti seperti atmosfer atau biosfer. Hingga bertahun-tahun sejak buku tersebut terbit, konsep nousfer menimbulkan kontroversi di kalangan agamawan dan ilmuwan, tapi kemudian terlupakan. Konsep ini muncul kembali dan menjadi bahan diskusi para ahli bersamaan dengan munculnya kesadaran baru mengenai fenomena internet yang semakin intensif mempengaruhi kehidupan masyarakat global.

I Gusti Putu Agus Hendra Yudiantara
16110111023
Universitas Dhyana Pura Bali
www.undhirabali.ac.id

Komentar